Potensi Budidaya Dengan Metode Silvofishery


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar belakang
Wilayah pesisir dan laut indonesia mempunyai kekayaan dan keanekaragaman hayati (biodiviersity) terbesar di dunia, yang tercermin pada keberadaan ekosistem pesisir seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun dan berjenis-jenis ikan, baik ikan hias maupun ikan konsumsi (Bappenas, 2007 dalam baderan, 2012). Akan tetapi akibat pembangunan, wilayah pesisir dan lautan yang padat penduduk dan tinggi intensitas pembangunannya terdapat berbagai gejala kerusakan lingkungan saat ini, tercatat indonesia mempunyai hutan mangrove seluas 9,36 juta hektar yang tersebar di seluruh indonesia. Sekitar 48 persen atau seluas 4,51 juta hektar rusak sedang dan 23 persen atau 2,15 juta hektar lainnya rusak berat kerusakan  hutan mangrove di indonesia sebagian besar diakibatkan oleh ulah manusia. Baik berupa konversi mangrove menjadi sarana pemanfaatan lain seperti pemukiman, industri, rekreasi dan lain sebagainya.
Pengelolaan lingkungan secara terpadu disinyalir terbukti memberikan peluang pengelolaan yang cukup efektif dalam rangka menyeimbangkan antara pelestarian lingkungan dan pemanfaatan ekonomi. Salah satu metode rehabilitasi yang memungkinkan peran aktif masyarakat adalah penerapan teknologi silvofishery. Silvofishery adalah sistem pertambakan teknologi tradisional yang menggabungkan antara usaha perikanan dengan penanaman mangrove, yang diikuti konsep pengenalan sistem pengelolaan dengan meminimalkan input dan mengurangi dampak terhadap lingkungan (Macintosh et al, 2002 dalam Shilman, 2012). Keselarasan ekologi merupakan masalah lingkungan yang perlu mendapat perhatian lebih karena menyangkut keberlangsungan hidup yang kompleks dan melibatkan berbagai aspek kehidupan. Keberlangsungan hidup yang kompleks dapat dilihat dari beberapa parameter antara lain parameter tingkat biodiversitas (keanekaragaman). Hal itu dapat diwujudkan ketika lingkungan menyediakan habitat yang masih lestari. Sehingga diperlukan implementasi sistem pembangunan yang berbasis sustainable ecology.
Menurut Wced (1987), pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengabaikan kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhannya. Dengan melibatkan mangrove dalam sistem tambak, tentunya akan memberikan manfaat yang lebih untuk lingkungan baik itu dari segi ekologi maupun dari segi ekonomi. Dari segi ekologi, mangrove memiliki peran yang kompleks terutama sebagai nursery ground, feeding ground dan spawning ground. Artinya, mangrove berperanan penting sebagai penyedia habitat yang baik bagi ekosistem perairan yang kompleks untuk mempertahankan kelestarian jenisnya baik itu bagi biota terestrial maupun biota akuatik sehingga secara tidak langsung ekosistem mangrove berperan penting  dalam menjaga tingkat kelestarian biota endemik pesisir tersebut. Selain itu, mangrove juga berperan sebagai penyumbang nutrien sebab serasah mangrove yang telah jatuh dan membusuk menjadi penyumbang siklus biogeokimia terutama siklus nitrogen yang berperan penting bagi pertumbuhan tumbuhan.
Dalam upaya membangun indonesia sebagai negara penghasil produk perikanan terbesar di dunia pada 2015, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya KKP terus menggenjot sektor-sektor yang menunjang program tersebut. Dari target sekitar 6,8 juta ton pada 2011, ditingkatkan menjadi 9,4 juta ton pada 2012. Berbagai langkah dan strategi terus dilakukan pemerintah. Bahkan, sampai 2014 akan digenjot hingga 221 persen dari total awal sekitar 5,26 juta ton, menjadi 16,89 juta ton untuk jenis rumput laut, patin lele, nila, ikan mas, gurame, kakap, ikan kerapu, dan bandeng. Jenis perikanan budidaya untuk udang akan terfokus di daerah aceh, lampung, kemudian pantai utara, bali, sumbawa sampai lombok, dan sulawesi selatan. Indonesia akan berusaha agar ikan-ikan hasil budidayanya bisa bersaing untuk di ekspor karena mahalnya ikan laut menjadikan alternatife ikan budidaya diminati banyak masyarakat, mulai dari ikan dari ikan patin, lele, gurame, nila, mas, kakap, dan bandeng sehingga indonesia bisa menjadi negara penyuplai benih ikan ke luar negeri (Dirjen Perikanan Budidaya KKP, 2012).
1.2         Rumusan Masalah
1.    Bagaimana konsep dan penerapan silvofishery?
2.    Apa keunggulan sistem silvofishry?
3.    Bagaimana cara budidaya udang dan ikan dengan sistem silvofishery?
1.3         Tujuan
1.      Untuk mengetahui dan memahami konsep dan penerapan silvofishery
2.      Untuk mengetahui keunggulan budidaya udang/ikan dengan sistem silvofishery.
3.      Untuk mengetahui bagaimana cara teknologi budidaya udang dan ikan sistem silvofishery






















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Silvofishery
Silvofishery atau yang sering disebut dengan wanamina merupakan suatu pola agroforesti yang memadukan antara mangrove dengan tambak yang diwujudkan dalam bentuk sistem budidaya perikanan. Wanamina merupakan pola pendekatan teknis yang cukup baik yang terdiri dari atas rangkaian kegiatan terpadu antara kegiatan budidaya ikan dengan kegiatan penanaman, pemeliharaan, pengelolaan dan upaya pelestarian hutan mangrove. Sistem ini memiliki teknologi sederhana, dapat dilakukan tanpa merusak tanaman bakau yang ada dan dapat dilakukan sebagai kegiatan sela sambil berusaha menghutankan kembali kawasan jalur hijau didaerah pantai yang kritis. Penerpapan kegiatan wanamina dikawasan ekosistem hutan mangrove secara umum diharapkan dapat mencegah perusakan kawasan tersebut oleh masyarakat karena akan memberikan alternatif sumber pendapatan bagi masyarakat dikawasan tersebut.
Berbagai tipe silvofishery sebagai sbuah konsep usaha terpadu antara hutan mangrove dan perikanan budidaya yaitu ditambak menjadi alternative usaha yang propestif dan sejalan dengan prinsip blue economy. Pendekatan terpadu terhadap konservasi dan pemnafaatan sumberdaya hutan mangrove memberikan kesempatan untuk mempertahankan kondisi kawasan hutan tetap baik. Disamping itu budidaya perairan payau dapat menghasilkan keuntungan ekonomi. Hal ini yang paling penting adalah bahwa konsep ini menawarkan alternatif teknologi yang aplikatif berdasarkan prinsip berkelanjutan (sustainable).
Pengelolaan terpadu mangrove tambak diwujudkan dalam bentuk sistem budidaya perikanan yang memasukkan pohon mangrove sebagai bagian dari sistem budidaya yang dikenal dengan sebutan wanamina (silvofishery). Silvofishry pada dasarnya ialah perlindungan terhadap kawasan mangrove dengan cara membuat tambak yang berbentuk saluran yang keduanya mampu bersimbiosis sehingga diperoleh keuntungan ekologis dan ekonomis karena merprtimbangkan kepedulian terhadap ekologi (ecological awareness).
            Fungsi mangrove sebagai nursey ground sering dimanfaatka untuk kepentingan pengembangan perikanan. Keuntungan yang telah diperoleh dari simbiosis ini selain memperoleh hasil perikanan yang lumayan biaya pemeliharaanny apun murah, karena tanpa harus memberikan makanan setiap hari. Hal ini disebabkan karena produksi fitoplankton sebagai energy utama perairan telah mampu memenuhi kebutuhan untuk usaha budidaya tambak. Berarti disini terwujud efisiensi.
2.2 Konsep dan Penerapan Silvofishery
Secara umum terdapat empat model tambak silvofishery (wanamina) yang sudah diterapkan antara lain tambak silvofishery model empang parit,komplangan, tanggul dan model jalur.
a.      Empang Parit
Empang parit merupakan lahan untuk hutan mangrove dan empang masih menjadi satu hamparan yang diatur oleh satu pintu air. Pola ini lahan mangrove dan empang berada dalam satu hamparan dan pengelolaan air diatur dengan satu buah pintu air. Pola empang parit merupakan model Silvofishery yang umum dikembangkan dengan membuat saluran air tempat membudidayakan/memeliharaikan ataupun udang. Saluran air ini mengelilingi lahan yang digunakan untuk  Silvofishery, sedangkan tumbuhan mangrove dapat ditanam di bagian tengah, sehingga terdapat perpaduan antara tumbuhan mangrove (wana/silvo) dan budidaya ikan (mina/fishery).

Gambar 1 empang dan mangrove

Kondisi ini dapat diterapkan pada areal bekas tambak yang akan direhabilitasi dengan memanfaatkan pelataran tambak (bagian tengah) untuk ditanami mangrove, sedangkan bagian caren atau parit tetap dibiarkan seperti semula. Dengan menggunakan sistem empang parit ini, maka lahan yang akan direforestasi dapat mencapai sekitar 80% dari luasan tambak. Penanaman mangrove dapat dilakukan dengan jarak tanam 1 x 1 meter antar individu mangrove (Bengen 2000 dalam Miasto,2010). Namun demikian, menurut Fitzgerald (1997 dalam Miasto, 2010) kepadatan mangrove yang ditanam dapat bervariasi antara 0.17-2.5 pohon/m2.
Kepadatan vegetasi yang rendah cocok diterapkan untuk tambak ikan bandeng, sedangkan kepadatan  vegetasi yang lebih tinggi sesuai untuk diterapkan pada budidaya udang dan kepiting bakau. Jenis mangrove yang ditanam umumnya adalah bakau (Rhizophora sp) atau dapat juga menggunakan jenis api-api (Avicennia spp). (Shilman, 2012). Kanal untuk memelihara ikan/udang berukuran lebar 3-5 m dan kedalaman sekitar 40-80 cm dari muka pelataran. Dengan berbagai modifikasi desain dasar tersebut maka luasan perairan terbuka yang dapat digunakan untuk memelihara ikan/udang dapat disesuaikan hingga mencapai 40-60%. Berbagai jenis ikan, seperti bandeng, kerapu lumpur, kakap putih dan baronang, serta udang dan kepiting bakau, dapat dipelihara secara intensif di kanal tersebut.
Keuntungan dari penerapan pola ini adalah bentuknya yang sederhana, sehingga biaya rekonstruksinya relatif lebih murah. Kelemahannya, karena letak hutan dan empang berada dalam satu hamparan, kemungkinan hama pengganggu ikan cukup tinggi, serasah dan dedaunan yang jatuh ke empang dalam jumlah berlebihan dapat mengganggu kehidupan dan pertumbuhan ikan. Fungsi hutansebagai penyedia pakan alami tak terpenuhi dengan baik karena pertumbuhan ganggang dan plankton kurang, akibat sinar matahari tak dapat mencapai permukaan empang. Tetapi hal ini bisa diatasi dengan dilakukan penjarangan atau pengaturan jarak tanam yang lebih lebar .

Gambar 2. Pola empang Parit            

Pola ini merupakan pengembangan dari pola empang parit tradisional, perbedaanya terletak pada jumlah pintu air yaitu 2 buah untuk pemasukan dan 1 buah untuk pengeluaran, serta terdapatnya saluran air tersendiri untuk hutan. Pada pola ini biaya rekontruksi khususnya untuk pembuatan pematangan cukup besar, untuk itu pengerjaannya dapat dilakukan secara bertahap. Produkstivitas empang lebih optimal, karena permasalahan seperti pola tradisional dapat dieminasi.hambatannya, lahan pemeliharaan ikan kurang terintegrasi dan luasnya terbatas.
b.      Komplangan
Lahan untuk hutan mangrove dan empang terpisah dalam dua hamparan yang diatur oleh saluran air dengan dua pintu yang terpisah untuk hutan mangrove dan empang (Bengen, 2003). Pada pola komplangan, areal pemeliharaan ikan dengan lahan hutan bakau terpisah oleh pematang dan dilengkapi dengan 2 buah pintu air masing-masing untuk pemasukan dan pengeluaran air. Pada lahan hutan terdapat pintu air pasang surut bebas.

Gambar 3. Model Kemplang

Model Komplang Model Komplang merupakan suatu sistem  silvofishery dengan desain tambak berselang-seling atau bersebelahan dengan lahan yang akan ditanami mangrove. Lahan untuk mangrove dan empang terpisah dalam dua hamparan yang diatur oleh saluran air dengan dua pintu air yang terpisah. Luas areal yang akan digunakan untuk silvofishery dengan model ini disarankan antara 2-4 hektar, sehingga nantinya akan dikembangkan ukuran tambak yang standar untuk memelihara ikan/udang minimal adalah 1 hektar. Model ini merupakan suatu metode budiday  air payau dengan input yang rendah dan menghasilkan dampak negative yang minimal terhadap lingkungan (ekosistem).
Sistem komplangan yang diterapkan tegak lurus dengan garis pantai memungkinkan sejumlah aliran air tawar menuju ke mangrove di dalam areal greenbelt. Model ini juga dapat menjaga kelimpahan keanekaragaman sumberdaya alam hayati. Keuntungan dari pola ini adalah bentuknya yang lebih terintegrasi, cukup memperoleh sinar matahari sehingga dapat digunakan untuk budidaya semi intensif
c.       Tanggul
Hutan mangrove hanya terdapat di sekeliling tanggul. Tambak jenis ini yang berkembang di Kelurahan Gresik dan Kariangau Kota Balikpapan. Berdasarkan 4 pola wanamina dan pola yang berkembang di masyarakat direkomendasikan pola wanamina kombinasi empat parit dan tanggul. Pemilihan pola ini didasarkan atas pertimbangan:
1.      Penanaman mangrove di tanggul bertujuan untuk memperkuat tanggul darilongsor, sehingga biaya perbaikan tanggul dapat ditekan dan untuk produksi serasah.
2.      Penanaman mangrove di tengah bertujuan untuk menjaga keseimbangan perubahan kualitas air dan meningkatkan kesuburan di areal pertambakan.
d.      Jalur
Jalur merupakan hasil modifikasi dari tambak wanamina model empang parit. Pada tambak wanamina model ini terjadi penambahan saluran-saluran di bagian tengah yang berfungsi sebagai empang.

Gambar 7. Model Jalur

2.3 Keuntungan Silvofishery
Silvofishery merupakan pola pendekatan teknis yang terdiri atas rangkaian kegiatan terpadu antara kegiatan budidaya ikan, udang atau usaha kepiting lunak dengan kegiatan penanaman, pemeliharaan, pengelolaan dan upaya pelestarian hutan mangrove. Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dengan menerapkan silvofishery, yaitu:
1.      Kontruksi pematang tambak akan menjadi kuat karena akan terpegang akar-akar mangrove dari pohon mangrove yang ditanam di sepanjang pematang tambak dan pematang akan nyaman dipakai para pejalan kaki karena akan dirimbuni oleh tajuk tanaman mangrove.
2.      Hasil Penelitian Martosubroto dan Naamin (1979) menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara luas kawasan mangrove dengan poduksi perikanan budidaya dimana semakin meningkatnya luasan mangrove maka produksi perikanan budidaya juga turut meningkat.
3.      Salah satu nilai ekologis dari ekosistem mangrove telah digunakan sebagai pengolah limbah cair sejak 1990, percobaan lapangan dan eksperimen rumah hijau telah di ujikan efek dari penggunaan ekosistem mangrove untuk mengolah limbah. Hasil dari studi lapangan di pelestarian sumberdaya alam nasional Futian, China, mengindikasikan penambahan konsentrasi polutan dilahan mangrove tidak menyebabkan terdeteksinya kerusakan pada tanaman mengrove, invertebrate bentik, atau spesies algae.
4.      Peningkatan produksi dari hasil tangkapan alam dan ini akan meningkatkan pendapatan masyarakat petani ikan
5.      Mencegah erosi pantai dan intrusi air laut ke darat sehingga pemukiman dansumber air tawar dapat dipertahankan
6.      Terciptanya sabuk hijau di pesisir (coastal green belt) serta ikut mendukung program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim global karena mangrove akan mengikat karbondioksida dari atmosfer dan melindungi kawasan pemukiman dari kecenderungan naiknya muka air laut.
7.      Mangrove akan mengurangi dampak bencana alam, seperti badai dan gelombang air pasang, sehingga kegiatan berusaha, kegiatan nelayan juga akan semakin maju dan lokasi pemukiman masyarakat di sekitarnya dapat diselamatkan
















BAB III
PEMBAHASAN
3.1         Persyaratan Lahan
Salah satu aspek penting dalam pengelolaan budidaya silvofishery adalah upaya pengarahan penggunaan lahan yang optimal sesuai dengan daya dukung dan peruntukannya. Arahan ini biasanya dituangkan dalam bentuk Klasifikasi Kesesuaian Lahan Anjuran. Untuk keperluan pembuatan peta Klasifikasi Kesesuaian Lahan Anjuran ini diperlukan pedoman. Pedoman ini nantinya akan menjadi landasan dalam setiap kegiatan evaluasi lahan yang bertujuan untuk membuat peta kesesuaian lahan tersebut. Pedoman tersebut biasanya berisi deskripsi syarat-syarat pengembangan penggunaan lahan/Type Penggunaan Lahan tertentu. Syarat-syarat tersebut ada yang bersifat non-fisik dan fisik. Yang bersifat non-fisik adalah seperti : input teknologi, input tenaga kerja, investasi, dll. Sementara yang bersifat fisik adalah aksesbilitas, vegetasi, iklim, dan syarat-syarat pertumbuhan flora dan fauna lainnya yang akan dikembangkan. Syarat-syarat ini kemudian diklasifikasi dengan struktur klasifikasi kesesuaran dari tingkat order, kelas, sub kelas sampai unit. Menurut FAO (1976), ordo kesesuaian lahan dibedakan menjadi 2 (dua) golongan yaitu lahan yang sesuai (S) dan lahan yang tidak sesuai (NS), sedangkan kelas kesesuaian lahan yang digunakan terdiri dari :
a. Kelas 51 (sangat sesuai), lahan tidak mempunyai faktor pembatas yang berarti atau nyata terhadap penggunaan secara berkelanlutan, atau hanya ada faktor pembatas yang bersifat minor dan tidak akan mereduksi produktivitas secara nyata.
b. Kelas 52 (cukup sesuai), lahan memiliki faktor pembatas dan faktor pembatas ini berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan tambahan masukan produksi.
c. Kelas 53 (kurang sesuai), lahan mempunyai faktor pembatas dan faktor pembatas ini berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan tambahan masukan yang lebih banyak dari pada lahan yang tergolong 52.
d. Kelas NS (tidak sesuai saat ini), lahan yang tidak sesuai karena mempunyai faktor pembatas yang sangat berat, tetapi sifatnya tidak permanen. Teknologi dan masukan yang tinggi dan secara ekonomi masih memungkinkan untuk diperbaiki dengan mengatasi faktor-faktor pembatasnya.
Sub-kelas menunjukkan macam pembatas atau macam tindakan perbaikan yang diperlukan di dalam kelas. Sementara unit menunjukkan perbedaan-perbedaan tambahan yang berpengaruh dalam pengelolaan dari suatu sub-kelas.
Siklus hara di hutan mangrove telah meningkatkan aktivitas biota perairan sebagai komponen ekosistemnya. Masukan bahan organik selain dari sungai dan laut, yang terbesar berasaldaridaun (Ananthakhrisnan, 1982). Detritus yang berasaldaridaun inimerupakan sumber makanan utama bagi herbivora dan omnivora perairan, sehingga merupakan dasar rantai makanan ekosistem yang sangat kompleks. Bertolak dari teori tersebut, maka pemeliharaan ikan melalui sistem silvofishery pola empang parit dianggap sangat tepat. Teori berikutnya mengatakan bahwa sejalan dengan fungsi mangrove sebagai nursery ground, yaitu tempat berkembang biak dan mencarimakan bagi biota perairan maka silvofishery dianggap merupakan bentuk pemafaatan mangrove yang sangat tepat (Wahyono, 1993) rekomendasi penggunaan lahan untuk silvofishery perlu dibuat klasifikasi dan hasil klasifikasi dibuatkan peta yang menunjukkan kelas kesesuaian lahan. Dengan cara ini maka setiap penggunan diharapkan lebih tepat memilih darah pertambakan silvofishery, sehingga produksi perikanan dapat meningkat.
3.2         Desain Tata Letak Dan Kontruksi Tambak
Untuk  merealisasikan  konsep  penyumpurnaan  pola  komplangan  yang ada saat  ini, maka perlu ada perbaikan konstruksi yang meliputi: (1) pada area mangrove dibuat beberapa parit  selebar  0.1 meter sedalam maksimal sejajar dasar  pintu  dengan  posisi silang  menyilang  yang  nantinya  berfungsi sebagai tempat biota biota liar mencari makan, memijah dan berkumpul pada waktu air tambak disurutkan, dibuat tiga pintu masing masing pada:  (2) petakan pada area mangrove sebagai  pintu pemasukan  dan pengeluaran air, petakan  pada area tambak sebagai pintu pemasukan dan pengeluaran air sewaktu waktu, dan pintu pada pematang antara area mangrove dan area tambak sebagai pintu regulator, dan (3)  dipasang kere yang terbuat dari bambu  pada bagian luar pintu  petakan  pada  area  mangrove  dan  tambak  untuk  menyaring  sampah sampah yang berukuran besar  yang ikut bersama air pasang.
Selanjutnya  tata  letak  tambak  silvofishery  pola  komplangan  dengan menjadikan area mangrove sebagai pusat sirkulasi air untuk mewujudkan konsep pengelolaan  tambak  ramah  lingkungan  melalui  pengelolaan  silvofishery  yang akan  diuraikan satu  persatu  keempat butir  yang  menjadi tujuan  dari pola ini. Gambar  pola  komplangan  disempunakan  seperti  yang  akan  disajikan  pada gambar 5.

Gambar 5. Desain tata letak tambak silvofishery pola komplangan yang disempurnakan

3.2.1   Persiapan
Persiapan Lahan Kegiatan persiapan lahan tambak ini biasanya dilakukan sebelum tambak digunakan pertama kali setelah terjadi transfer hak antar petani tambak/penggarap atau setiap 4 musim tanam. Musim tanam yang dimaksud biasanya adalah pada bulan Februari, Juni, dan pada bulan Oktober. Tujuan utama dari kegiatan ini adalah untuk mempersiapkan tambak agar kaya akan pakan alami. Hal ini perlu dilakukan mengingat tambak biasanya akan mengalami penurunan daya dukung setelah digunakan untuk produksi berkali-kali. Kegiatan ini meliputi empat kegiatan penting, yaitu kegiatan pengelolaan tambak, pemupukan, serta pemberantasan hama dan penyakit.
a.       Pengeringan, tujuan pengeriangan dasar tambak menurut Poernomo (1992) adalah mineralisasi bahan organic yang terkandung dalam tanah, menghilangkan gas seperti Hidrogen Sulfida (H2S), Amonia, Metan (CH4) dan bahan-bahan berbahaya lainnya, disamping itu pengeringan dan pembalikan tanah dasar bertujuan untuk mempercepat proses perombakan bahan organik dalam tanah sehingga tanah mengandung bahan-bahan mineral yang bermanfaat baik langsung bagi udang yang dipelihara dan bebas dari bahan-bahan yang potensial menghasilkan racun. Waktu penjemuran tambak tergantung cuaca, apabila cuaca cerah dan matahari terik hanya dibutuhkan waktu 1 minggu penjemuran.
b.       Pengelolaan Tambak Kegiatan pengelolaan tambak merupakan kegiatan awal dalam tahap persiapan tambak yang bertujuan untuk meningkatkan kesuburan tanah di dasar tambak sehingga dapat merangsang pertumbuhan klekap sebagai makanan alami ikan di tambak. Selain itu, pakan alami yang biasanya digunakan adalah berupa fitoplankton dan zooplankton. Kegiatan pengelolaan tambak ini biasanya dimulai dengan pengosongan air tambak dengan cara memompa air keluar dari tambak dengan menggunakan mesin sedot air. Kegiatan pengosongan air tambak ini kemudian dilanjutkan dengan kegiatan pengangkatan lumpur dari tambak, lalu dikeringkan ± 5 hari – 7 hari lamanya. Kegiatan pengeringan ini selain bertujuan untuk menghilangkan hama dan penyakit yang masih tertinggal di tambak, juga dapat mempercepat proses mineralisasi di dasar tambak.
c.       Pengapuran, Kegiatan pengapuran merupakan kegiatan yang jarang dilaksankan petambak. pengapuran ini bertujuan untuk meningkatkan pH tanah, menambah kesuburan, terutama mencukupi kebutuhan kalsium. Pengapuran akan lebih banyak diberikan pada tanah tambak yang relative asam apalagi tambak yang baru dioperasikan. Untuk lahan yang sudah pernah dipakai dan rutin dilakukan pengapuran dapat dikurangi dosisnya sesuai hasil pengukuran pH-nya. Pengapuran dapat dilakukan dalam waktu 3 – 5 hari. Penggunaan kapur pada beberapa tambak CaCO3 pada kisaran 250-500 kg/ha.
d.       Pemupukan Setelah kegiatan pengeringan tambak selesai dilakukan, kemudian dilanjutkan dengan kegiatan berikutnya, yaitu pemupukan dasar tambak yang bertujuan untuk mempercepat/merangsang pertumbuhan pakan alami di tambak serta meningkatkan kandungan hara bagi kebutuhan fitoplankton untuk berfotosintesis. Pemupukan ini dilakukan dengan cara menyebarkan pupuk secara merata pada dasar tambak. Adapun pupuk yang digunakan pada umumnya oleh penggarap adalah pupuk khusus tambak perikanan yaitu pupuk Tambak Organik Nusantara (pupuk TON). Dalam kegiatan pemupukan ini dosis pupuk yang digunakan cukup bervariasi tergantung pada luasan tambak yang yang dimiliki serta faktor kecukupan modal untuk membeli pupuk. Dosis pupuk TON yang digunakan ± 2,5 kg/ha. Pupuk yang digunakan penggarap diperoleh dengan cara dibeli di kios-kios pertanian yang terdapat di sekitar wilayah Desa Paluh Manan. Pupuk TON dibeli penggarap dengan harga Rp. 70.000,-/kg. Kegiatan pemupukan ini hanya dilakukan pada tambak yang menerapan sistem non silvofishery. Pada tambak silvofishery tidak dilakukan pemupukan dikarenakan keberadaan dari tanaman mangrove sudah dianggap mencukupi untuk menghasilkan unsur hara yang diperlukan oleh tambak. Oleh karena itu, biaya input yang dikeluarkan dari sistem tambak silvofishery menjadi lebih sedikit bila dibandingkan dengan tambak non silvofishery. Hal ini dikarenakan pada tambak silvofishery tidak perlu mengeluarkan biaya untuk membeli pupuk.
e.       Pemberantasan Hama Penyakit Dalam kegiatan budidaya ikan dan udang, masalah umum yang sering sekali terjadi dan dapat mengganggu keberhasilan kegiatan budidaya adalah gangguan hama dan penyakit. Hama yang biasanya mengganggu yaitu siput. Sementara hama yang mengganggu pada saat pembudidayaan ialah ular air namun tidak terlalu menimbulkan kerugian yang berarti. Untuk mengatasi masalah ini adalah dengan cara menggunakan pestisida seperti Samponen dan Akodan. Samponen merupakan salah satu jenis pestisida organik yang berasal dari bungkil biji teh dalam bentuk bubuk kasar, sehingga dalam penggunaannya samponen ini perlu dilarutkan terlebih dahulu dalam air selama ± satu malam. Dosis samponen yang digunakan lebih kurang 50 kg/ha tergantung kebutuhan. Samponen ini diperoleh petani tambak/penggarap di kios-kios pertanian yang terdapat di sekitar Desa Paluh Manan dengan harga yang bervariasi. Harga samponen ini berkisar antara Rp. 3.000,-/kg – Rp. 5.000,-/kg. Akodan digunakan untuk mematikan hama yang ada pada tambak. Pestisida yang dikemas dalam kaleng dan berbentuk cair dan berwarna putih. Harga akodan yaitu Rp. 50.000,- /kg. Pemberian pestisida ini biasanya dilakukan pada saluran masuknya air ke dalam tambak pada saat ketinggian air tambak mencapai ± 10 cm, kemudian di biarkan selama ± 3 hari. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar hama yang ada benar-benar mati dan efek racun pestisida yang diberikan tidak lagi mempunyai efek/pengaruh terhadap benih (nener) ikan dan benih (benur) udang yang akan ditebar. Sedangkan penyakit yang biasanya dihadapi hanya dikarenakan terjadinya banjir pada area tambak yang mengakibatkan air yang ada di dalam tambak menjadi tercemar, sehingga ikan dan udang yang berada di dalam tambak yang tidak tahan akan mengalami kematian.
3.3         Kualitas Air
Parameter kualitas air tambak sangat penting dan menentukan keberhasilan budidaya udang maupun ikan. Kualitas air tambak dapat memberikan pengaruh positif atau negative, kualitas air berpengaruh positif bila masih dalam kisaran nilai kandungan yang masih dapat diterima oleh tubuh udang atau ikan, sedangkan pengaruh negatif terjadi bila kualitas air tersebut di luar kisaran ambang batas dari yang dapat diterima oleh udang atau ikan. Kualitas air dapat dijadikan salah satu kriteria dalam penentuan tingkat kelayakan atau kesesuaian tambak. Secara umum parameter kualitas air tambak pada masing- masing stasiun pengambilan sampel terdapat perbedaan. Hal ini disebabkan karena adanya perubahan lingkungan secara langsung maupun tidak langsung yang dapat mempengaruhi aktivitas biota di dalamnya.
a.       Salinitas
Salinitas (kadar garam) merupakan salah satu sifat kualitas air yang penting karena mempengaruhi kecepatan pertumbuhan udang. Udang yang masih muda, berumur 1-2 bulan memerlukan kadar garam 15-25% (air payau) agar pertumbuhannya optimal. Bila kadar garam lebih tinggi, pertumbuhannya akan lambat. Namun bila umurnya sudah lewat 2 bulan, relatif tetap baik pertumbuhannya pada kadar garam lebih tinggi dari 25 % sampai 30 atau 34 ‰. Pada kadar garam lebih tinggi dari 40% udang tidak tumbuh lagi. Salinitas yang baik untuk pemeliharaan udang adalah 15-25 permil (Suyanto dan Mujiman 2003). Berdasarkan hasil pengukuran salinitas (Gambar 3), pada stasiun sungai didapat nilai salinitas pada waktu pasang lebih tinggi daripada saat surut. Hal ini dikarenakan adanya masukan dari air laut dengan arus yang cukup besar. Hal ini juga yang menyebabkan perbedaan nilai salinitas yang cukup besar antar pasang dan surut
b.      Suhu
Suhu merupakan faktor fisika yang penting dimana-mana di dunia. Kenaikan suhu mempercepat reaksi-reaksi kimiawi; menurut Hukum van’t Hoff kenaikan suhu 10°C akan melipat ganda kecepatan reaksi, walaupun hukum ini tidak selalu berlaku. Misalnya saja proses metabolisme akan meningkat sampai puncaknya dengan kenaikan suhu tetapi kemudian menurun lagi. Setiap perubahan suhu cenderung untuk mempengaruhi banyaknya proses kimiawi yang terjadi secara bersamaan pada jaringan tanaman dan binatang, karenanya juga mempengaruhi biota secara keseluruhan. Pada proses penetasan telur suhu sangat berpengaruh terhadap lama waktu inkubasi telur, contohnya pada ikan bandeng makin tinggi suhu air penetasan, makin cepat waktu inkubasi. Pada suhu 29°C waktu inkubasi 27 – 32 jam dan pada suhu 31,5oC waktu inkubasi 20,5 – 22 jam.
c.       Derajat keasaman
Derajat keasaman (pH) perairan pada saat pasang maupun surut berkisar antara 6,5-8 (gambar 5). Hal ini disebabkan kondisi perairan yang lebih condong ke arah laut. Siahainenia (2000) menyatakan bahwa perairan dengan pH 6.50-7,50 dikategorikan perairan yang cukup baik, sedangkan perairan dengan kisaran pH 7,50-8,50 dikategorikan sangat baik. Rendahnya pH air tambak pada lokasi penelitian disebabkan oleh penguraian bahan organik yang terakumulasi di dasar tambak pada waktu digunakan untuk budidaya sebelumnya terutama pada tambak silvofishery, sehingga terjadi pelepasan ion h+ yang akan mempengaruhi derajat keasaman air tambak. Menurut Boyd (1982) proses dekomposisi bahan organik berlangsung lebih cepat pada kondisi pH netral dan alkalis. Bakteri dapat tumbuh dengan baik pada pH netral dan alkalis.
d.      Oksigen terlarut
Oksigen terlarut (DO) dalam air sangat menentukan kehidupan udang dan ikan dalam budidaya, karena rendahnya kadar oksigen terlarut dapat berpengaruh terhadap fungsi biologis dan lambatnya pertumbuhan, bahkan dapat mengakibatkan kematian (Buwono 1992). Fungsi oksigen di dalam tambak selain untuk pernapasan organisme juga untuk mengoksidasi bahan organik yang ada di dasar tambak. Jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk pernapasan udang tergantung ukuran, suhu dan tingkat aktivitas dan batas minimumnya adalah 3 ppm atau mg/L.
Dekomposisi bahan organik dan oksidasi bahan anorganik dapat mengurangi kadar oksigen terlarut hingga mencapai nol (anaerob). Selain itu semakin tinggi suhu dan salinitas, maka kelarutan oksigen pun semakin berkurang sehingga kadar oksigen di laut cenderung lebih rendah daripada kadar oksigen di perairan tawar oksigen terlarut dalam air dapat berasal dari hasil proses fotosintesis oleh fitoplankton atau tanaman air lainnya, dan difusi dari udara (Hariyadi et al. 1992). Kisaran nilai oksigen terlarut untuk Surya perdana et al. – Lingkungan mangrove pada area silvofishery Blanakan, Subang 81 budidaya perikanan menurut PP no. 82 tahun 2001 adalah diatas 3 mg/L.
b.       Klorofil-a
Klorofil lebih dikenal dengan zat hijau daun merupakan pigmen yang terdapat pada organisme produsen yang berfungsi sebagai pengubah karbondioksida menjadi karbohidrat, melalui proses fotosintesa. Klorofil mempunyai rumus kimia C55H2O5N4 mg dengan atom mg sebagai pusatnya. Klorofil-a merupakan salah satu parameter yang sangat menentukan produktivitas primer di laut. Sebaran dan tinggi rendahnya konsentrasi klorofil-a sangat terkait dengan kondisi oseanografis suatu perairan. (Hatta 2002).
c.       Fosfor
Keberadaan fosfor di perairan adalah sangat penting terutama berfungsi dalam pembentukan protein dan metabolism bagi organisme. Nilai total fosfor menggambarkan jumlah total fosfor, baik merupakan partikulat maupun terlarut, anorganik maupun organik. Contoh fosfor anorganik adalah orthofosfat. Fosfor organik banyak terdapat pada perairan yang banyak mengaandung bahan organik seperti lingkungan mangrove ini.
d.       Nitrogen
Nitrogen di perairan terdapat dalam bentuk gas N2, NO 2-, NO3- dan NH4+ serta sejumlah N yang berikatan dalam organik kompleks. Nilai total Nitrogen berdasarkan hasil pengukuran untuk stasiun sungai (stasiun 1-3) berkisar antara 1,204-1,652 mg/L pada saat pasang.sedangkan pada saat surut nilai total Nitrogen berkisar antara 1,268-1,382 mg/L.
e.       Alkalinitas
Alkalinitas menunjukkan konsentrasi basa atau bahan yang mampu menetralisir keasamaan dalam air. Alkalinitas biasanya dinyatakan dalam satuan ppm (mg/L) kalsium karbonat (CaCO3). Nilai alkalinitas untuk seluruh stasiun berkisar antara 39,9-119 mg/L pada saat pasang dan 54,6- 109,2 mg/L pada saat surut. Besar kecilnya nilai alkalinitas ini berperan dalam kemampuan perairan itu sendiri dalam sistem penyangga yaitu berperan menjaga terjadinya perubahan pH secara drastis.

3.4         Penebaran Benur
Penebaran benih ikan berukuran 5 cm – 7 cm dengan padat tebar per hektar 1.000 ekor – 3.000 ekor. Untuk benih udang, ukuran benih yang digunakan adalah panjang ± 2,5 cm dengan padat tebar per hektar sekitar 3.000 ekor – 4.000 ekor. Penebaran benih ikan dan udang biasanya dilakukan pada sore hari menjelang malam. Penebaran dilakukan pada saat ketinggian air dalam tambak mencapai 70 cm - 120 cm. Pada saat penebaran, bebih-benih yang ditebar terlebih dahulu akan diberi kesempatan untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan barunya yang dikenal dengan istilah aklamasi. Sedangkan benih kepiting yang ditebar per hektar sebanyak 25 kg, dimana biasanya pada 1 kg terdapat lebih kurang 10 ekor kepiting. Biasanya tingkat kematian benih hingga masa panen berkisar antara 10% - 20% (Budiman, dkk 2015).
3.5         Kontrol
Pemeliharaan Setelah benih-benih ikan, udang, dan kepting ditebar, tahapan selanjutnya adalah pemeliharaan sampai benih mencapai ukuran konsumsi. Pemeliharaan yang dimaksud meliputi penjagaan kualitas air, pemberian pelet, serta pemberian katalis/perangsang pertumbuhan benih. Kualitas air yang ada harus tetap dijaga untuk memastikan klekap yang ada dapat tumbuh dengan baik. Perlu diperhatikan adalah pertumbuhan klekap di tambak harus selalu dikontrol, jangan sampai terjadi blooming atau tingkat pertumbuhan klekap yang berlebih karena hal ini dapat mengganggu pertumbuhan dari benih yang ditebar.
Katalis/perangsang yang digunakan yaitu Lodan. Lodan digunakan untuk menjaga kualias air serta menjadikan air tambak sesuai peruntukan bagi kelangsungan hidup benih di tambak. Lodan juga dapat merangsang dan memacu pertumbuhan benih hingga mencapai ukuran dan bobot yang diinginkan. Lodan mengandung unsur-unsur seperti Kalsium, Magnesium, Nitrogen, Kalium, dan Silikat Aluminium. Lodan digunakan pada saat benih sudah berumur 7 - 15 hari sejak ditebar di tambak, dengan dosis 1 kg/ha – 3 kg/ha. Lodan ditaburkan pada saat tinggi air tambak mencapai ± 50 cm dari dasar tambak.
Pemanenan Kegiatan panen biasanya dilakukan tiga kali dalam setahun dengan masa pemeliharaan 3,5 bulan – 4 bulan. Panen dilakukan setelah ikan, udang, dan kepiting mencapai ukuran konsumsi. Pada umumnya kegiatan pemanenan ini dilakukan oleh 2 orang – 5 orang tenaga kerja tergantung pada luasnya tambak yang dikelola. Tenaga kerja ini biasanya diberi upah sebesar Rp. 50.000,- sampai Rp. 90.000,-/orang untuk satu hari kerja tergantung banyaknya hasil panen yang diperoleh. Panen dilakukan dengan menggunakan alat berupa jaring dan jala. Ikan, udang, yang berhasil dijaring biasanya dikumpulkan berdasarkan jenisnya ke dalam suatu wadah lalu dijemput oleh pengepul untuk dibawa ke Tempat Pelelangan Hasil Tambak (TPHT) atau Tempat Pelelangan Hasil Ikan (TPI) untuk dijual.



























BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dari makalah diatas dapat disimpulkan bahwa budidaya ikan dan udang menggunakan sistem silvofishery yakni suatu pola agroforesti yang memadukan antara mangrove dengan tambakyang diwujudkan dalam teknik budidaya perikanan. Banyak yang harus diperhatikan ketika ingin melakukan budidaya ikan dengan system salvofishery diantaranya persiapan lahan, memperhatikan tata letak dan kontruksi tambak, mempersiapkan tambak dengan pempupukan dan pemberantasan hama, lalu memperhatikan parameter kualitas air,melakukan penebaran benih yang jelas, pemberian pakan yang baik, setelah itu melakukan pemeliharaan hingga panen dengan melakukan control pada kolam budidaya.























DAFTAR PUSTAKA

https://www.academia.edu/38626034/MAKALAH_KSDA. diakses pada tanggal 08 Oktober 2019
https://slideplayer.info/slide/2397642/. Diakses pada tanggal 08 Oktober 2019
Siahainenia L. 2000. Distribusi Kelimpahan Kepiting Bakau (S.serrata, S.oceania dan S.tranquberica) dan Hubungannya Dengan Karakteristik Habitat Pada Kawasan Hutan Mangrove Teluk Pelita Jaya, Seram Barat-Maluku. Program Pasca Sarjana IPB, Bogor.
Boyd CE. 1982. Water Quality Management in Pond Fish Culture. Alabama Agricultural Experiment Station. Auburn University, Alabama
Buwono ID. 1992. Tambak Udang Windu Sistem Pengelolaan Berpola Intensif. Kanisius. Yogyakarta.
Hariyadi S, I Suryadiputra dan B Widigdo. 1992. Limnologi. Penuntun Praktikum Dan Metoda Analisa Kualitas Air. IPB Bogor. 126 Hal.
Hatta M. 2002. Hubungan Antara Klorofil-a dan Ikan Pelagis Dengan Kondisi Oseanografi di Perairan Utara Irian Jaya. IPB, Bogor



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peran Fungi/Jamur Dalam Dunia Perikanan

Permasalahan Umum Dunia Perikanan & Kelutan di Indonesia dan Sulosinya Berdasarkan Ajaran Islam

ILMU NUTRISI IKAN “FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBUTUHAN IKAN AKAN BERBAGAI GIZI (KUALITATIF DAN KUANTITATIF)”